LAPORAN PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan
janin dari dalam rahim.
Dalam Operasi Caesar, ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan
kulit, lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan
luar rahim, dan rahim. Setelah bayi dikeluarkan, lapisan itu kemudian dijahit
lagi satu per satu, sehingga jahitannya berlapis-lapis. Melihat proses diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa melahirkan dengan operasi tentu memiliki resiko
lebih tinggi dibanding melahirkan secara alamiah. Dengan demikian, akan lebih
bijak bila dalam mengambil keputusan untuk tindakan operasi, memang berdasarkan
indikasi medis dan sudah tidak dapat dilakukan upaya lain.
Jenis – jenis operasi sectio caesarea
1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a. Sectio caesarea transperitonealis
SC klasik atau corporal (dengan insisi
memanjang pada corpus uteri)- Dilakukan dengan membuat sayatan
memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
Mengeluarkan janin dengan cepatü
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung
kemih tertarikü
Sayatan bias diperpanjang proksimal atau
distalü
Kekuranganü
Infeksi mudah menyebar secara intra
abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baikü
Untuk persalinan yang berikutnya lebih
sering terjadi rupture uteri spontanü
SC ismika atau profundal (low servical
dengan insisi pada segmen bawah- rahim) Dilakukan dengan melakukan
sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal)
kira-kira 10 cm
Kelebihan :
Penjahitan luka lebih mudahü
Penutupan luka dengan reperitonealisasi
yang baikü
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik
sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneumü
Perdarahan tidak begitu banyakü
Kemungkinan rupture uteri spontan
berkurang atau lebih kecilü
Kekurangan :
Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan
bawah sehingga dapat menyebabkanü uteri uterine pecah sehingga
mengakibatkan perdarahan banyak
Keluhan pada kandung kemih post operasi
tinggiü
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan
demikian tidak membuka cavum abdominal
2. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Sayatan memanjang ( longitudinal )
2. Sayatan melintang ( Transversal )
3. Sayatan huruf T ( T insicion )
B. ETIOLOGI/ PENYEBAB
Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun
dengan kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi kemungkinan dilakukan
operasi sectio caesarea.
Faktor-Faktor Penyebab Sectio Caesarea
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah
plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi
dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan letak
bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi
dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari
beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio
caesarea sebagai berikut :
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa
tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui
oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan
kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis
tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran
bidang panggul menjadi abnormal (Kasdu, 2003).
Setiap pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul, dapat
menimbulkan distosia pada persalinan. Menurut Wiknjosastro (2002) ada beberapa
kesempitan panggul, yaitu :
a. Kesempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul biasanya dianggap menyempit jika konjugata vera yang
merupakan ukuran paling pendek panjangnya kurang dari 10 cm atau jika diameter
transversal yang merupakan ukuran paling lebar panjangnya kurang dari 12 cm,
proses persalinannya jika kelainan panggul cukup menonjol dan menghalangi
masuknya kepala dengan mudah ke dalam pintu atas panggul, proses persalinan
akan memanjang dan kerap kali tidak pernah terjadi persalinan spontan yang
efektif sehingga membawa akibat yang serius bagi ibu maupun janinnya.
b. Kesempitan panggul tengah
Bidang obstetrik panggul tengah membentang dari margo inferior simfisis pubis,
lewat spina iskiadika, dan mengenai sakrum di dekat sambungan tulang vertebra
keempat dan kelima. Meskipun definisi kesempitan pintu atas panggul, namun
panggul tengah mungkin sempit kalau jumlah diameter interspinarum dan diameter
sagitalis posterior pelvis (normalnya 10,5 plus 5 cm atau 15,5 cm) mencapai
13,5 cm atau lebih kurang lagi.
c. Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana
distansia tuberculum 8 cm atau lebih kecil lagi. Pintu bawah panggul yang
sempit tidak banyak mengakibatkan distosia karena kesempitannya sendiri
mengingat keadaan ini sering disertai pula dengan kesempitan panggul tengah.
Dalam kasus CPD, jika kepala janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada
ibu hamil cukup bulan, akan dilakukan operasi sectio caesarea karena resiko
terhadap janin semakin besar kalau persalinan semakin maju (Jones, 2001).
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah
penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi (Mochtar, 1998).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada
trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola
hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain.
Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg
atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau
lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila
tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100 mmHg atau
lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat
(Wiknjosastro, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh,
dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki,
jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada
kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis
pre-eklamsi. Kenaikan berat badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan
masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa
kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3
gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan satu atau
dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan
dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya
proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan berat badan
karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan
antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini
mungkin, lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi
lebih berat. Tujuan utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya
pre-eklamsi dan eklamsi, hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin
seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan
pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400
cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien
mengeluh nyeri epigastrium, gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan di dapat kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan
pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh
koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena
sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk.
Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan
konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan melakukan sectio caesarea
yang aman agar mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak
terlalu banyak (Manuaba, 2001).
Ada dua macam kemungkinan ketuban pecah dini, yaitu premature rupture of
membran dan preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama
yaitu keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya adalah
keluarnya cairan mendadak disertai bau yang khas, namun berbeda dengan bau air
seni. Alirannya tidak terlalu deras keluar serta tidak disertai rasa mules atau
sakit perut. Akan terdeteksi jika si ibu baru merasakan perih dan sakit jika si
janin bergerak (Barbara, 2009).
Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan
memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan
perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor resiko dari KPD yaitu polihidramnion,
riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban, kehamilan
kembar, trauma dan infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis (Mochtar,
1998).
Diagnosis ketuban pecah dini didasarkan pada riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah
besar secara mendadak atau sedikit demi sedikit pervaginam. Untuk dapat
menegakkan diagnosis dapat diambil pemeriksaan inspekulo untuk pengambilan
cairan pada forniks posterior, pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi
biru sifat basa, fern tes cairan amnion, pemeriksaan USG untuk mencari Amniotic
Fluid Index (AFI), aktifitas janin, pengukur berat badan janin, detak jantung
janin, kelainan kongenital atau deformitas. Selain itu untuk membuktikan
kebenaran ketuban pecah dengan jalan aspirasi air ketuban untuk dilakukan
kultur cairan amnion, pemeriksaan interleukin, alfa fetoprotein, bisa juga
dengan cara penyuntikan indigo karmin ke dalam amnion serta melihat
dikeluarkannya pervaginam (Manuaba, 2007).
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera
dilahirkan. Pecahnya kantung ketuban pada kehamilan seringkali tidak disadari
penyebabnya. Namun, biasanya hal ini terjadi sesudah trauma. Misalnya, setelah
terjatuh, perut terbentur sesuatu, atau sesudah senggama. Dengan adanya hal ini
dokter akan mempercepat persalinan karena khawatir akan terjadi infeksi pada
ibu dan janinnya (Kasdu, 2003).
4. Janin Besar (Makrosomia)
Makrosomia atau janin besar adalah taksiran berat janin diatas 4.000 gram. Di
negara berkembang, 5 % bayi memiliki berat badan lebih dari 4.000 gram pada
saat lahir dan 0,5 % memiliki berat badan lebih dari 4.500 gram. Ada beberapa
faktor ibu yang menyebabkan bayi besar, yaitu ibu dengan diabetes, kehamilan
post-term, obesitas pada ibu, dan lain-lain. Untuk mencegah trauma lahir, maka
bedah sesar elektif harus ditawarkan pada wanita penderita diabetes dengan
taksiran berat janin lebih dari 4500 gram dan pada wanita nondiabetes dengan
taksiran berat janin lebih dari 5000 gram (Glance, 2006).
Namun, bisa saja janin dengan ukuran kurang dari 4.000 gram dilahirkan dengan
operasi. Dengan berat janin yang diperkirakan sama, tetapi terjadi pada ibu
yang berbeda maka tindakan persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya
untuk panggul ibu yang terlalu sempit, berat badan janin 3 kg sudah dianggap
besar karena bayi tidak dapat lewat jalan lahir. Demikian pula pada posisi
sungsang dengan berat janin lebih dari 3,6 kg sudah bisa dianggap besar
sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi. Keadaan ini yang disebut bayi
besar relatif (Kasdu, 2003).
Kelahiran pervaginam untuk bayi makrosomia harus dilakukan dengan sangat
terkontrol yaitu dengan akses segera kepada staf anastesi dan tim resusitasi
neonatus. Sangat penting untuk menghindari persalinan pervaginam dengan alat
bantu dalam keadaan ini (Glance, 2006).
5. Kelainan Letak Janin
Kelainan-kelainan janin menurut Mochtar (1998) antara lain :
a. Kelainan pada letak kepala
1). Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang
paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya
kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2). Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling
rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3). Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan
tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan
berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak sungsang
Janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus
dan bokong di bawah (Mochtar, 1998). Menurut (Sarwono, 1992) letak sungsang
merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan
bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak
sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi
bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.
6. Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran
satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah
letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
7. Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003).
C. PATOFISIOLIGI
Peningkatan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi
difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat
teerjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam
yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala
sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya
disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh
makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak
hingga terjadi epilepsi.
Anatomi fungsional yang dibahas pada kasus post operasi sectio caesarea terdiri
dari anatomi dinding perut dan otot dasar panggul.
a. Anatomi dinding perut
Dinding perut dibentuk oleh otot-otot perut dimana disebelah atas dibatasi oleh
angulus infrasternalis dan di sebelah bawah dibatasi oleh krista iliaka, sulkus
pubikus dan sulkus inguinalis.
Otot-otot dinding perut tersebut terdiri dari otot-otot dinding perut bagian
depan, bagian lateral dan bagian belakang.
1) Otot rectus abdominis
Terletak pada permukaan abdomen menutupi linea alba, bagian depan tertutup
vagina dan bagian belakang terletak di atas kartilago kostalis 6-8. origo pada
permukaan anterior kartilago kostalis 5-7, prosesus xyphoideus dan ligamen
xyphoideum. Serabut menuju tuberkulum pubikum dan simpisis ossis pubis.
Insertio pada ramus inferior ossis pubis. Fungsi dari otot ini untuk flexi
trunk, mengangkat pelvis.
2) Otot piramidalis
Terletak di bagian tengah di atas simpisis ossis pubis, di depan otot rectus
abdominis. Origo pada bagian anterior ramus superior ossis pubis dan simpisis
ossis pubis. Insertio terletak pada linea alba. Fungsinya untuk meregangkan
linea alba.
3) Otot transversus abdominis
Otot ini berupa tendon menuju linea alba dan bagian inferior vagina musculi
recti abdominis. Origo pada permukaan kartilago kostalis 7-12. insertio pada
fascia lumbo dorsalis, labium internum Krista iliaka, 2/3 lateral ligamen
inguinale. Berupa tendon menuju linea alba dan bagian inferior vagina muskuli
recti abdominis. Fungsi dari otot ini menekan perut, menegangkan dan menarik
dinding perut.
4) Otot obligus eksternus abdominis
Letaknya yaitu pada bagian lateral abdomen tepatnya di sebelah inferior
thoraks. Origonya yaitu pada permukaan luas kosta 5-12 dan insertionya pada
vagina musculi recti abdominis. Fungsi dari otot ini adalah rotasi thoraks ke
sisi yang berlawanan.
5) Otot obligus internus abdominis
Otot ini terletak pada anterior dan lateral abdomen, dan tertutup oleh otot
obligus eksternus abdominis. Origo terletak pada permukaan posterior fascia
lumbodorsalis, linea intermedia krista iliaka, 2/3 ligamen inguinale insertio
pada kartilago kostalis 8-10 untuk serabut ke arah supero medial. Fungsi dari
otot ini untuk rotasi thoraks ke sisi yang sama.
b. Otot dasar panggul
Otot dasar panggul terdiri dari diagfragma pelvis dan diagfragma urogenital.
Diagfragma pelvis adalah otot dasar panggul bagian dalam yang terdiri dari otot
levator ani, otot pubokoksigeus, iliokoksigeus, dan ischiokoksigeus. Sedangkan
diafragma urogenetik dibentuk oleh aponeurosis otot transverses perinea
profunda dan mabdor spincter ani eksternus. Fungsi dari otot-otot tersebut
adalah levator ani untuk menahan rectum dan vagina turun ke bawah, otot
spincter ani eksternus diperkuat oleh otot mabdor ani untuk menutup anus dan
otot pubokavernosus untuk mengecilkan introitus vagina.
c. patologi
Pada operasi sectio caesarea transperitonial ini terjadi, perlukaan baik pada
dinding abdomen (kulit dan otot perut) dan pada dinding uterus. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi penyembuhan dari luka operasi antara lain adalah suplay
darah, infeksi dan iritasi. Dengan adanya supply darah yang baik akan
berpengaruh terhadap kecepatan proses penyembuhan. Perjalanan proses
penyembuhan sebagai berikut :
(1) sewaktu incisi (kulit diiris), maka beberapa sel epitel, sel dermis dan
jaringan kulit akan mati. Ruang incisi akan diisi oleh gumpalan darah dalam 24
jam pertama akan mengalami reaksi radang mendadak,
(2) dalam 2-3 hari kemudian, exudat akan mengalami resolusif proliferasi
(pelipatgandaan) fibroblast mulai terjadi,
(3) pada hari ke-3-4 gumpalan darah mengalami organisasi,
(4) pada hari ke 5 tensile strength (kekuatan untuk mencegah terbuka kembali
luka) mulai timbul, yang dapat mencegah terjadi dehiscence (merekah) luka,
(5) pada hari ke-7-8, epitelisasi terjadi dan luka akan sembuh. Kecepatan
epitelisasi adalah 0,5 mm per hari, berjalan dari tepi luka ke arah tengah atau
terjadi dari sisa-sisa epitel dalam dermis,
(6) Pada hari ke 14-15, tensile strength hanya 1/5 maksimum,
(7) tensile strength mencapai maksimum dalam 6 minggu. Untuk itu pada seseorang
dengan riwayat SC dianjurkan untuk tidak hamil pada satu tahun pertama setelah
operasi (Hudaya, 1996).
d. Fisiologi nifas
Perubahan yang terjadi selama masa nifas post sectio caesarea antara lain: (1)
Uterus, setelah plasenta dilahirkan, uterus merupakan alat yang keras karena
kontraksi dan reaksi otot-ototnya. Fundus uteri ±3 jari di bawah pusat. Ukuran
uterus mulai dua hari berikutnya, akan mengecil hingga hari kesepuluh tidak teraba
dari luar. Invulsi uterus terjadi karena masing-masing sel menjadi kecil, yang
disebabkan oleh proses antitoksis dimana zat protein dinding pecah, diabsorbsi
dan dibuang melalui air seni. Sedangkan pada endomentrium menjadi luka dengan
permukaan kasar, tidak rata kira-kira sebesar telapak tangan. Luka ini akan
mengecil hingga sembuh dengan pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan
luka, mulai dari pinggir dan dasar luka, (2) pembuluh darah uterus yang saat
hamil dan membesar akan mengecil kembali karena tidak dipergunakan lagi, (3)
dinding perut melonggar dan elastisitasnya berkurang akibat peregangan dalam
waktu lama (Rustam M, 1998).
D. MANIFESTASI KLINIK/ TANDA DAN GEJALA
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Reproduksi
• Uterus
- Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil.
Proses ini dipercepat oleh rangsangan pada puting susu.
- Lochea
• Komposisi
Jaringan endometrial, darah dan limfe.
• Tahap
a. Rubra (merah) : 1-3 hari.
b. Serosa (pink kecoklatan)
c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari
Lochea terus keluar sampai 3 minggu.
• Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.
Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.
- Siklus Menstruasi
Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak
menyusui akan kembali ke siklus normal.
- Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada
bulan ke 3 atau lebih. Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu
ke-8. Ovulasi mungkin tidak terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi
untuk mencegah kehamilan.
- Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari,
struktur internal kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak
bercelah.
- Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak
hamil, dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal
dengan ovulasi.
- Perineum
• Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.
• Laserasi
TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot
TK II : Meluas sampai dengan otot perineal
TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter
TK IV : melibatkan dinding anterior rektal
b. Payudara
Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena
peningkatan prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui,
engorgement akan berkurang dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila
dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan mengecil pada 1-2 hari.
c. Sistem Endokrin
- Hormon Plasenta
HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam
72 jam post partum normal setelah siklus menstruasi.
- Hormon pituitari
Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak
ada pada ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.
d. Sistem Kardiovaskuler
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal
post partum terjadi bradikardi.
- Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu Persalinan normal
: 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
- Perubahan hematologik Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.
- Jantung Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
e. Sistem Respirasi
Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali
setelah 3 minggu post partum.
f. Sistem Gastrointestinal
- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.
- Nafsu makan kembali normal.
- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.
g. Sistem Urinaria
- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.
- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.
- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.
h. Sistem Muskuloskeletal
Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil.
Diastasis rekti 2-4 cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.
i. Sistem Integumen
Hiperpigmentasi perlahan berkurang.
j. Sistem Imun
Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa timbul pada sectio caesarea adalah sebagai berikut :
1). Infeksi puerperal yang terdiri dari infeksi ringan dan infeksi berat.
Infeksi ringan ditandai dengan kenaikan suhu beberapa hari dalam masa nifas,
infeksi yang berat ditandai dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi bisa terjadi
sepsis, infeksi ini bisa terjadi karena karena partus lama dan ketuban yang
telah pecah terlalu lama,
2). Perdarahan bisa terjadi pada waktu pembedahan cabang-cabang atonia uteria
ikut terbuka atau karena atonia uteria,
3). Terjadi komplikasi lain karena luka kandung kencing, embolisme paru dan
deep vein trombosis,
4). Terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya (Rustam M, 1998).
F. PENATALAKSANAAN MEDIAS
Penatalaksanaan medis
Cairan IV sesuai indikasi.
Anestesia; regional atau general
Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan
Persiapan kulit pembedahan abdomen
Persetujuan ditandatangani.
Pemasangan kateter foley
G. REFERENSI
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta :
mocaMedia
Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetric dan Ginekologi. EGC. Jakarta
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis obstetric. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
http//:www.SC/sectio-caesarea.html
http// : www.SC/LP-Sectio-Caesarea.htm
Asuhan Keperawatan Sektio Caesaria
1. Devisit Volume Cairan b.d Perdarahan
Tujuan: Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan
output baik jumlah maupun kualitas.
Intervensi:
a.Kaji kondisi status hemodinamika.
R/ Pengeluaran cairan akibat operasi yang berlebih merupakan faktor utama
masalah.
b.Ukur pengeluaran harian.
R/ Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian ditambah dengan
jumlah cairan yang hilang selama masa post operasi dan harian.
c.Berikan sejumlah cairan pengganti harian.
R/ Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif.
d.Evaluasi status hemodinamika.
R/ Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan fisik.
2. Gangguan Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi
Tujuan: Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Intervensi:
a.Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas.
R/ Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi perdarahan masif
perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih buruk.
b.Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum.
R/ Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi organ
reproduksi, tetapi dapat mempengaruhi kondisi luka post operasi dan
berkurangnya energi.
c.Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
R/ Mengistiratkan klien secara optimal.
d.Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi
klien.
R/ Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens, istirahat mutlak
sangat diperlukan.
e.Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas.
R/ Menilai kondisi umum klien.
3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d luka post operasi
Tujuan: Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami.
Intervensi:
a.Kaji kondisi nyeri yang dialami klien.
R/ Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala
maupun dsekripsi.
b.Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya.
R/ Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri.
c.Ajarkan teknik distraksi.
R/ Pengurangan persepsi nyeri.
d.Kolaborasi pemberian analgetika.
R/ Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian
analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik.
4. Resiko tinggi Infeksi b.d perdarahan, luka post operasi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan dan luka
operasi.
Intervensi:
a.Kaji kondisi keluaran/dischart yang keluar ; jumlah, warna, dan bau dari
luka operasi.
R/ Perubahan yang terjadi pada dischart dikaji setiap saat dischart keluar.
Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin merupakan tanda
infeksi.
b.Terangkan pada klien pentingnya perawatan luka selama masa post operasi.
R/ Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan luka.
c.Lakukan pemeriksaan biakan pada dischart.
R/ Berbagai kuman dapat teridentifikasi melalui dischart.
d.Lakukan perawatan luka.
R/ Inkubasi kuman pada area luka dapat menyebabkan infeksi.
e.Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda inveksi.
R/ Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik infeksi;
demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala infeksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar